Pembelajaran Blended Learning

Posted by Akkuang Blog on 19 Agu 2020

Daftar Isi [Tampil]

 

A. Pengertian Pembelajaran Blended Learning

Secara ketatabahasaan istilah blended learning terdiri dari dua kata yaitu, blended dan learning. Blended atau berasal dari kata blend yang berarti “campuran, bersama untuk meningkatkan kualitas agar bertambah baik” (Collins Dictionary), atau  formula  suatu  penyelarasan  kombinasi  atau  perpaduan  (Oxford  English Dictionary), sedangkan learning berasal dari learn yang artinya “belajar”. Sehingga secara sepintas istilah blended learning dapat diartikan sebagai campuran atau kombinasi dari pola pembelajaran satu dengan yang lainnya.

Staker & Horn (2012) mendefinisikan blended learning sebagai pembelajaran yang mengkombinasikan antara pembelajaran online dengan pembelajaran konvensional (tatap muka). Pada pembelajaran model ini, peserta didik difasilitasi untuk dapat belajar dan mengulang materi secara mandiri untuk satu bagian sesi menggunakan bahan dan sumber belajar online dan satu bagian sesi lainnya dilakukan secara tatap muka di dalam ruangan kelas.

Pembelajaran blended learning tidak hanya sekedar mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran di kelas. Namun dalam pembelajaran blended learning keberadaan teknologi lebih difokuskan untuk memfasilitasi peserta didik dalam mengeskplorasi materi bahan ajar dan mendapatkan pengalaman belajar secara mandiri. Dalam model pembelajaran ini, sesi online dan sesi tatap muka berjalan saling melengkapi dan berkesinambungan. Artinya, pada sesi pembelajaran online membahas materi dan kegiatan pembelajaran pada sesi tatap muka, begitu juga sebaliknya.

Ada tiga alasan utama mengapa guru memilih untuk menggunakan model pembelajaran blended learning, diantaranya yaitu:

  1. Meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Pembelajaran ‘blended learning’ dapat memungkinkan untuk diaplikasikannya berbagai macam strategi pembelajaran yang tidak dapat diterapkan dalam pembelajaran konvensional. Strategi pembelajaran tersebut dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran.
  2. Meningkatkan akses dan fleksibilitas dalam pembelajaran. Pembelajaran ‘blended learning’ dapat meningkatkan akses dan fleksibilitas peserta didik dalam memperoleh pengalaman belajar dengan memperluas jangkauan sumber belajar yang tidak terbatas hanya pada area ruang kelas.
  3. Meningkatkan efisiensi dalam pembelajaran. Pembelajaran ‘blended learning’ juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan dana dan waktu, baik dari pihak guru maupun peserta didik.

Selain itu, pembelajaran ‘blended learning’ juga dapat membantu guru dalam menghadapi permasalahan dalam pembelajaran, diantaranya yaitu: partisipasi, kecepatan belajar, individualisasi, tempat, interaksi pribadi, persiapan, dan umpan balik.

  1. Partisipasi. Pada saat kegiatan diskusi kelompok di kelas, dalam satu kesempatan hanya ada satu peserta didik yang dapat berpendapat. Selain itu yang juga sering terjadi dalam forum diskusi adalah dominasi dari beberapa peserta didik dalam forum diskusi tersebut. Dalam hal ini, diskusi secara online dapat menjadi alternative bagi guru untuk dapat memberikan kesempatan yang sama pada seluruh peserta didik untuk berbicara dalam forum diskusi.
  2. Kecepatan belajar. Pembelajaran tatap muka di kelas berjalan sesuai dengan unit atau bab materi dan akan berpindah ketika unit atau bab materi tersebut selesai. Dalam hal ini, pembelajaran model ‘blended learning’ dapat memfasilitasi siswa dalam mengatur kecepatan penguasaan, pengulangan, serta pengayaan dari bab materi yang dapat dipelajari secara mandiri.
  3. Individualisasi. Setiap peserta didik memiliki minat, kemampuan, dan tujuan yang berbeda. Pembelajaran secara online dapat membantu guru dalam memfasilitasi peserta didik untuk mengarahkan pembelajaran sesuai dengan minat, kemampuan, dan tujuan masing-masing.
  4. Tempat. Pembelajaran secara online bersifat lebih fleksibel dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka. Melalui pembelajaran online, peserta didik dapat belajar kapanpun dan dimanapun. Baik sebelum jam sekolah, saat jam belajar, setelah jam sekolah, saat berada di rumah, dll.
  5. Interaksi   pribadi. Pembelajaran model blended learning juga memungkinkan guru untuk dapat lebih banyak berinteraksi dan membantu peserta didik secara individual. Hal ini dikarenakan fokus guru tidak terpusat pada satu kelas secara keseluruhan seperti pada pembelajaran konvensional.
  6. Persiapan. Dalam pembelajaran ‘blended learning’ peserta didik dapat mengakses bahan ajar secara online sehingga peserta didik dapat lebih siap sebelum mengikuti pembelajaran tatap muka, serta peserta didik juga dapat mengulang lagi materi yang dipelajari setelah kelas selesai.
  7. Umpan Balik. Dalam suatu proses pembelajaran, umpan balik terhadap hasil pekerjaan siswa adalah bagian yang sangat penting. Namun seringkali guru tidak mempunyai banyak kesempatan untuk dapat memberikan umpan balik segera setelah peserta didik menyelesaikan tugasnya. Nah, melalui sistem online dalam pembelajaran blended learning, guru dapat memberikan umpan balik atas hasil pekerjaan seluruh siswa melalui sistem aktivitas penilaian yang interaktif.

B. Karakteristik pembelajaran ‘Blended Learning’

Pembelajaran blended learning memiliki beberapa karakteristik. Beberapa karakteristik pembelajaran blended learning tersebut merujuk pada Prayitno, (2015), diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Model blended learning menggabungkan berbagai cara penyampaian, model pendidikan, gaya pembelajaran, dan menggunakan berbagai media berbasis teknologi.
  2. Model pembelajaran blended learning merupakan kombinasi dari pola pembelajaran langsung (tatap muka), belajar mandiri, dan pembelajaran menggunakan sistem online.
  3. Guru dan orangtua memiliki peran yang sama penting, dimana guru berperan sebagai fasilitator dan orangtua berperan sebagai pendukung.

C. Model-model pembelajaran ‘Blended Learning’

Ada banyak model yang dapat digunakan guru untuk mengaplikasikan aktifitas pembelajaran online dan tatap muka dalam pembelajaran blended learning. Clayton Christensen Institute telah mengindentifikasi beberapa model yang cukup sering digunakan dalam menyusun pembelajaran ‘blended learning’. Beberapa model blended learning tersebut dapat diilustrasikan pada bagan berikut:

 

Ilustrasi Model Pembelajaran Blended Learning
(Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

Masing-masing model pembelajaran blended learning di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1).  Model Rotasi (Rotation Model)

Pada model kelas ini peserta didik akan diatur untuk bergantian menempati pos-pos kegiatan pembelajaran yang telah disediakan. Misalnya akan ada pos untuk kegiatan diskusi, mengerjakan proyek, tutorial secara individual, dan mengerjakan tugas atau latihan.

Berikut beberapa model kelas yang termasuk pada kategori model rotasi (rotation model):

(a). Model Kelas Station Rotation

Sesuai dengan namanya, dalam model pembelajaran ini terdapat beberapa tempat atau perhentian (station) dimana peserta didik dapat menempatinya secara bergiliran sesuai dengan kesepakatan atau arahan dari guru. Pada salah satu perhentian (station), peserta didik dan guru dapat saling berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan yang ditemui oleh peserta didik. Model pembelajaran ini sering digunakan dalam pembelajaran di sekolah dasar.

 




Gambar 20. Ilustrasi Model Pembelajaran Station Rotation
(Graham dkk, K-12 Blended Teaching, 2019)

Lalu bagaimana model kelas station rotation dalam versi pembelajaran blended learning? Pada pembelajaran blended learning, ada satu perhentian (station) dimana peserta didik belajar dan memanfaatkan teknologi untuk mempelajari bahan diskusi dalam kelas sebelum berkumpul dan berdiskusi dengan guru dalam perhentian (station) lainnya. Selain itu, tempat atau perhentian (station) juga dapat digunakan oleh peserta didik untuk berdiskusi atau bekerja menyelesaikan proyek yang ditugaskan guru. Model kelas station rotation ini sering digunakan dalam pembelajaran blended learning pada sekolah yang peserta didiknya tidak banyak yang mempunyai perangkat seperti tablet dan laptop.

Agar model kelas station rotation menjadi efektif maka sebaiknya kelas model ini diterapkan untuk peserta didik yang dapat belajar secara mandiri. Hal ini dikarenakan guru hanya akan terfokus pada satu kelompok peserta didik yang sedang berada dalam perhentian (station) tertentu. Namun alternatif lain yang juga dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan adanya fasilitator lain yang membantu guru dalam mengawasi peserta didik yang berkegiatan di perhentian (station) lainnya. Selain itu, guru dan peserta didik juga dapat membuat kesepakatan di awal pembelajaran, dimana masing-masing peserta didik harus saling membantu ketika berkegiatan di setiap perhentian (station). Sehingga guru dapat fokus memfasilitasi diskusi pada satu perhentian (station).

Contoh :  Akademi KIPP LA memfasilitasi ruangan kelas di suatu Taman Kanak-kanak dengan 15 buah komputer. Pada suatu kegiatan pembelajaran, guru mengatur peserta didik dalam beberapa jenis kegiatan diantaranya yaitu: pembelajaran online, diskusi kelompok kecil, dan kegiatan latihan/tugas secara individual. Gambar berikut mengilustrasikan kegiatan pembelajaran menggunakan model kelas station rotation dalam TK.

Gambar 21. Ilustrasi model kelas Station Rotation
(Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

(b). Model Kelas Lab/Whole Group Rotation

Berbeda dengan model kelas station rotation dimana perpindahan/perputaran yang dilakukan peserta didik masih berada dalam satu ruangan  yang sama, pada model kelas lab/whole group rotation, peserta didik akan diatur untuk berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain. Salah satu ruangan digunakan untuk sesi pembelajaran secara online sedangkan ruangan yang lain digunakan untuk kegiatan yang lainnya.

Pada model kelas ini, peran guru tidak hanya terbatas hanya pada satu kelompok kecil dalam satu perhentian (station). Namun disini, guru berperan untuk memfasilitasi dan membantu peserta didik secara individual saat belajar menggunakan perangkat elektronik.

Contoh: Pada suatu pembelajaran, peserta didik berpindah dari ruangan kelasnya menuju laboratorium komputer selama dua jam setiap hari untuk mengikuti pembelajaran matematika dan membaca secara online.

Gambar   berikut   merupakan   ilustrasi   dari   kegiatan   belajar   yang menggunakan model kelas lab/whole group rotation.


Gambar 22. Ilustrasi Model Kelas lab/whole group rotation
(Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

(c). Model Kelas Flipped (Flipped Clasroom)

Biasanya, dalam suatu pembelajaran yang konvensional, peserta didik mempelajari suatu materi dalam kelas. Kemudian peserta didik akan mendapatkan tugas yang berkaitan dengan materi tersebut untuk dikerjakan setelah jam pelajaran selesai. Namun, yang sering terjadi adalah peserta didik sering mengalami kebingungan karena tidak tersedianya sumber dan bahan ajar yang dapat membantu mereka menyelesaikan tugas rumahnya.

Model pembelajaran flipped classroom membalik siklus yang biasanya terjadi. Sebelum peserta didik memulai kelas, mereka akan mendapatkan pengajaran secara langsung melalui video secara online. Sehingga ketika kelas dimulai, peserta didik dapat mulai mengerjakan dan menyelesaikan tugasnya serta dapat meminta bantuan melalui kegiatan diskusi dikelas.

Gambar 23. Ilustrasi Model Pembelajaran Flipped Classroom
(
Graham dkk, K-12 Blended Teaching, 2019)

Contoh: Siswa kelas 4 – 6 mempelajari materi matematika melalui video pembelajaran dan menjawab soal-soal yang berkaitan dengan materi tersebut di Moodle. Kegiatan ini dapat dilakukan dimanapun setelah jam sekolah selesai. Kemudian, para siswa tersebut membahas dan mendiskusikan apa yang mereka telah pelajari baik dalam video pembelajaran maupun dalam moodle bersama dengan guru pada saat jam sekolah.

Berikut adalah ilustrasi dari kegiatan pembelajaran yang menggunakan model kelas flipped (flipped classroom).

Gambar 24. Ilustrasi Model Kelas flipped (Flipped Classroom)
(Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

(d). Model Rotasi Individu (Individual Rotation)

Pada model ini, siswa mendapatkan jadwal yang telah disesuaikan dengan masing-masing individual untuk dapat belajar secara mandiri. Jadwal ini dapat diatur baik oleh guru maupun diatur secara online. Model rotasi individu berbeda dengan model rotasi yang lainnya karena peserta didik tidak berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Contoh: SMA Carpe Diem menugaskan peserta didik untuk belajar sesuai dengan jadwal yang diatur. Masing-masing peserta didik belajar secara online di pusat pembelajaran maupun dalam pembelajaran secara tatap muka. Masing-masing sesi berlangsung selama 35 menit.

Gambar berikut merupakan ilustrasi dari kegiatan belajar yang menggunakan rotasi individu (individual rotation).

Gambar 25. Ilustrasi Model Kelas Rotasi Individu (Individual Rotation)
(Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

2). Model Kelas Flex

Pada model kelas flex, sebagian besar pembelajaran dilakukan secara online sehingga pembelajaran bersifat sangat fleksibel. Peserta didik dapat belajar sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan kecepatan belajar masing- masing. Pada model kelas ini, guru dapat berperan sebagai fasilitator melalui sesi  diskusi,  pengerjaan  proyek  dalam  kelompok,  maupun tutoring secara individu. Hal ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik yang mengalami permasalahan dalam pembelajaran berdasarkan hasil pantauan aktifitas pembelajaran online yang telah dilaksanakan.

Model kelas flex memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang. Terdapat pula fasilitas bagi peserta didik untuk dapat berdiskusi langsung dengan guru secara online ketika menemui permasalahan dalam pembelajaran. Kunci dari model kelas flex adalah guru dapat memfasilitasi pembelajaran yang sangat fleksibel bagi peserta didik namun tetap ada interaksi yang bermakna antar peserta didik dan guru selama kegiatan pembelajaran.

Gambar 26. Ilustrasi Model Pembelajaran Flex
(Graham dkk, K-12 Blended Teaching, 2019)

Contoh: Salah satu akademi di San Fransisco menerapkan model pembelajaran flex, dimana guru yang mengajar pada sesi pembelajaran tatap muka merancang strategi pembelajaran dan intervensi untuk sesi tersebut berdasarkan data yang didapatkan dari kegiatan pembelajaran online yang telah dilakukan sebelumnya.

Gambar 27. Ilustrasi Model Kelas Flex
(Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

3). Model Self-Blend

Pada model ini, peserta didik dapat mengambil satu atau lebih kegiatan pembelajaran online sebagai tambahan dari kegiatan pembelajaran tatap muka yang telah dilakukan.

Contoh: Sekolah Quakertown Community di Pennsylvania menawarkan pembelajaran online untuk peserta didik kelas 6-12. Pembelajaran online ini dirancang untuk dapat diakses baik di lingkungan sekolah (cyber lounge) maupun di tempat lainnya. Guru yang memfasilitasi pembelajaran online adalah guru yang juga mengajar pada sesi pembelajaran tatap muka.

 

Gambar 28. Ilustrasi Model Kelas Self-Blend
(
Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

4). Model Enriched-Virtual

Pada model kelas ini program pembelajaran dibagi menjadi dua sesi, yaitu pembelajaran tatap muka dan pembelajaran secara online. Pada awalnya model kelas enriched-virtual sepenuhnya adalah model kelas online. Namun pada perkembangannya ditambahkan model blended learning untuk memfasilitasi peserta didik melalui pembelajaran tatap muka.

Model enriched-virtual berbeda dengan model flipped karena pembelajaran tatap muka dalam model enriched-virtual tidak dilakukan setiap hari. Model kelas ini juga berbeda dengan model Self-Blend karena pembelajaran yang ditawarkan adalah kegiatan pembelajaran secara utuh, bukan berupa materi secara khusus.

Contoh: Pertemuan pertama progam pembelajaran di dalam suatu eCADEMY dilakukan secara tatap muka. Kemudian, untuk pertemuan selanjutnya peserta didik dipersilahkan untuk dapat belajar secara online saja selama peserta didik dapat menyelesaikan program tersebut dengan nilai minimal yang telah ditentukan.

Gambar 29. Ilustrasi Model Kelas Enriched-Virtual
(Staker & Horn, Classifying K–12 Blended Learning, 2012)

5). Memilih model kelas yang sesuai

Guru dapat memilih dan menggabungkan beberapa model kelas dan disesuaikan dengan kebutuhan guru dan peserta didik. Misalnya, jika ingin memfokuskan suatu pembelajaran pada sesi pembelajaran tatap muka, maka dapat digunakan model kelas flipped. Jika guru ingin membentuk beberapa kelompok kecil dalam pembelajaran sehingga dapat memaksimalkan interaksi dengan peserta didiknya maka dapat mengambil model kelas station rotation atau lab rotation. Sebaliknya, jika guru ingin fokus untuk membelajarkan peserta didik secara online, maka dapat menggunakan model kelas flex.

Proses penyusunan kegiatan belajar masing-masing model blended learning disesuaikan dengan beberapa karakteristik seperti fasilitas belajar, ketersediaan akses terhadap teknologi, usia dan kemampuan peserta didik, serta durasi jam pelajaran.

D. Merancang Model Pembelajaran ‘Blended Learning’

Dalam merancang model pembelajaran blended learning, pengajar perlu menguasai bagaimana cara mengintegrasikan pembelajaran online dengan pembelajaran tatap muka. Beberapa kemampuan yang perlu dikuasai dalam proses mengintegrasikan kedua pembelajaran ini diantaranya yaitu: kemampuan dalam memanfaatkan data karakteristik peserta didik, teknik mengajar dan Teknik memfasilitasi pembelajaran secara individual dan kelompok, kemampuan mengembangkan interaksi secara online, serta dapat mengaplikasikan kombinasi ketiga kemampuan tersebut kedalam praktek pembelajaran model blended learning.

Gambar 30. Unsur-Unsur Model Pembelajaran Blended Learning
(Graham dkk, K-12 Blended Teaching, 2019)

1). Mengintegrasikan pembelajaran online dengan pembelajaran tatap muka

Setelah mengenal beberapa model kelas dalam model blended learning, sekarang akan dibahas mengenai bagaimana menyusun aktifitas pembelajaran yang menggunakan model blended learning. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran yang menggunakan model blended learning adalah adanya interaksi antara peserta didik dengan konten (materi) pembelajaran, peserta didik dengan guru, serta interaksi antara peserta didik dengan peserta didik lainnya. Ketika merancang pembelajaran yang menggunakan model blended learning, guru harus memadukan jenis-jenis interaksi diatas baik dalam pembelajaran online maupun pembelajaran tatap muka.

Selain itu jenis-jenis dan kombinasi interaksi diatas, baik secara langsung (tatap muka) maupun secara online juga dapat diilustrasikan melalui kuadran sebagai berikut. Dimana pada kuadran sebelah kanan menggambarkan interaksi antara peserta didik dengan konten pembelajaran sedangkan pada kuadran sebelah kiri menggambarkan interaksi antara peserta didik dengan guru serta interaksi antara peserta didik dengan peserta didik lainnya. Model blended learning memungkinkan semua jenis interaksi ini dapat diakomodasi dalam satu kegiatan pembelajaran.

Penggunaan teknologi dalam pembelajaran yang menggunakan model blended learning tidak hanya bertujuan untuk membangun interaksi antara peserta didik dan guru secara online saja. Namun penggunaan teknologi juga ditujukan untuk mendukung agar interaksi dalam pembelajaran secara tatap muka dapat berlangsung dengan baik. Sebagai contoh, guru yang mengaplikasikan model blended learning akan lebih mudah memfasilitasi peserta didik secara individual maupun dalam kelompok kecil dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini dikarenakan:

(a). Sebagian penyampaian materi atau sesi diskusi telah dilaksanakan dalam sesi pembelajaran online. Sehingga guru memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan peserta didik secara individual maupun dalam kelompok kecil saat sesi pembelajaran tatap muka berlangsung.

(b).Guru memiliki kesempatan untuk dapat menilai kinerja, kemampuan, dan mengetahui kebutuhan belajar peserta didik melalui aktifitas pembelajaran online.

Pembelajaran yang menggunakan model blended learning dapat memungkinkan guru untuk mengarahkan fokus pembelajaran sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik secara individual. Hal ini didukung dengan perencanaan, perancangan, pengembangan, serta penerapan kegiatan pembelajaran yang saling melengkapi baik ketika sesi online maupun sesi tatapmuka.

Salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh guru dalam pembelajaran yang menggunakan model blended learning adalah tidak adanya keterkaitan antara kegiatan pembelajaran pada sesi online dan sesi tatap muka. Padahal sesuai dengan prinsipnya, seluruh kegiatan pembelajaran pada model blended learning bersifat saling terkait dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Berikut contoh lain bagaimana cara mengintegrasikan antara kegiatan belajar online dan tatap muka:

(a). Guru dapat menginfomasikan topik untuk kegiatan diskusi kepada peserta didik dalam sesi pembelajaran tatap muka, kemudian melanjutkan kegiatan diskusi tersebut pada saat sesi online. Penarikan kesimpulan kegiatan diskusi kembali dilakukan pada saat pembelajaran tatap muka.

(b). Pada   saat   peserta   didik   belajar   menggunakan   software   aplikasi pembelajaran, guru dapat memantau miskonsepsi yang terjadi. Sehingga pada saat sesi pembelajaran tatap muka, guru dapat mengadakan sesi diskusi berdasarkan data miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik.

2). Menyusun Aktifitas Pembelajaran dengan model Blended Learning

Ada tiga komponen penting yang harus diperhatikan dalam merancang dan mengembangkan aktifitas pembelajaran dengan model blended learning, diantaranya yaitu:

(a).  Standar Capaian dan Tujuan Pembelajaran

Standar capaian pembelajaran ditentukan oleh kurikulum nasional dan menggambarkan secara umum hasil yang harus dicapai oleh peserta didik setelah pembelajaran. Ketika merancang suatu kegiatan pembelajaran, akan lebih baik jika standar capaian pembelajaran diuraikan menjadi beberapa tujuan yang lebih spesifik yang dapat dicapai melalui satu kegiatan pembelajaran.

Tujuan belajar biasanya diawali dengan frase “Pada akhir pembelajaran, peserta didik mampu …”. Tujuan pembelajaran digunakan sebagai acuan untuk menentukan konten, aktifitas, dan proses penilaian dalam suatu pembelajaran. 

(b) Penilaian

Untuk dapat mengukur tingkat pemahaman materi dan kemampuan peserta didik serta menentukan apakah peserta didik telah mampu mencapai standar capaian dan tujuan pembelajaran, maka diperlukan suatu prosedur penilaian. Prosedur penilaian yang dipakai dapat berupa penilaian secara tertulis (tes, kuis, dan esai), penilaian kinerja (pembuatan proyek dan presentasi), penilaian formatif, serta penilaian sumatif.

(c) Kegiatan Pembelajaran

Selama kegiatan pembelajaran juga dapat dilakukan penilaian terhadap proses, keaktifan, dan partisipasi peserta didik selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Misalnya pada saat kegiatan diskusi, kegiatan membaca atau menyimak pemaparan materi.

Berikut merupakan contoh format tabel yang dapat digunakan untuk menyusun dan mengembangkan tujuan pembelajaran, penilaian serta kegiatan pembelajaran dalam model pembelajaran blended learning:

Setelah mengembangkan ketiga komponen di atas, guru dapat mulai merencanakan urutan kegiatan pembelajaran untuk peserta didik. Misalnya, akan ada sesi diskusi online sebelum, selama, atau setelah sesi pembelajaran tatap muka. Kegiatan diskusi tersebut juga dapat dimulai saat pembelajaran tatap muka, kemudian dilanjutkan pada saat sesi pembelajaran online atau sebaliknya.

Struktur pembelajaran model blended learning bersifat lebih fleksibel dibandingkan dengan pembelajaran model konvensional. Esensi dari model pembelajaran blended learning adalah memberikan kesempatan pada peserta didik untuk dapat lebih fleksibel dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Selain itu, guru juga harus menyesuaikan rancangan dan urutan kegiatan pembelajaran dengan kebutuhan peserta didik, baik secara individual maupun kelompok, sesuai dengan data peserta didik. Tidak ada aturan untuk urutan yang baku dalam menyusun kegiatan pembelajaran. Namun, hal yang perlu dijadikan pertimbangan dalam memilih dan menyusun kegiatan pembelajaran adalah standar capaian dan tujuan pembelajaran, serta karakteristik dan kebutuhan peserta didik secara individu maupun kelompok.

3). Evaluasi Pembelajaran Model Blended Learning

Selama kegiatan belajar berlangsung, alangkah baiknya jika guru membuat catatan mengenai hal-hal penting yang terjadi dan perlu diperbaiki untuk kegiatan selanjutnya. Guru dapat menggunakan contoh pertanyaan- pertanyaan dibawah ini sebagai acuan untuk refleksi dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

  • Kegiatan mana saja yang berhasil berjalan dengan baik?
  • Dan kegiatan mana saja yang tidak berhasil berjalan dengan baik?
  • Apakah data penilaian telah digunakan sebagai acuan untuk merencanakan kegiatan belajar yang selanjutnya?
  • Apakah  guru  perlu  meningkatkan  atau  justru  mengurangi  intensitas interaksi dalam hal memfasilitasi peserta didik secara individual?
  • Apakah interaksi ketika sesi pembelajaran online berjalan seperti yang telah direncanakan?

Guru dapat merevisi kegiatan blended learning ini untuk kesempatan selanjutnya berdasarkan data hasil belajar peserta didik, data hasil pengamatan guru terhadap kinerja peserta didik, juga komentar-komentar dari peserta didik mengenai kegiatan belajar yang telah berlangsung. Sehingga perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran model ini dapat terus berlanjut hingga guru benar-benar mampu menguasai bagaimana membelajarkan peserta didik menggunakan model blended learning.

4). Program Aplikasi atau Platform untuk Pembelajaran Model Blended Learning

Ada beberapa aplikasi yang bisa dipakai ketika Anda hendak menerapkan pembelajaran blended learrning. Berikut beberapa aplikasi yang dapat digunakan untuk pembelajaran yang menggunakan model blended learning:

  • Web 2.0
  • Edmodo
  • Google Group

 E. Referensi

Dichev et al., C. (2013). Current Practices, Trends and Challenges in K-12 Online Learning. Cybernetics and Information Technologies.Volume 13, Issue 3, Pages 91–110.

Graham, C. R., Borup, J., Short, C. R., & Archambault, L. (2019). K-12 Blended Teaching : A Guide to Personalized Learning and Online Integration By Freely accessible online at : Independently published.

Ololube, N. P. (2011). Blended learning in Nigeria: Determining students’ readiness and faculty role in advancing technology in a globalized educational development. In A. Kitchenham (Ed.), Blended learning across disciplines: Models for implementation (pp. 190–207). Hershey, PA: Information Science Reference. doi:10.4018/978-1-60960-479-0.ch011 

Prayitno, W. (2015). Implementasi blended learning dalam pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah. Yogyakarta, Indonesia.

Prescott, J. E., Bundschuh, K., Kazakoff, E. R., Elise, J., Bundschuh, K., & Kazakoff, E. R. (2018). Elementary school – wide implementation of a blended learning program for reading intervention. The Journal of Educational Research, 111(4), 497–506. https://doi.org/10.1080/00220671.2017.1302914 

Staker, B. H., & Horn, M. B. (2012). Classifying K – 12 Blended Learning.California, USA: Innosight Institute, Inc 

Surjono, H. D. (2009). Membangun E-Learning dengan Moodle. Retrieved from http://blog.uny.ac.id/hermansurjono 

Youssef, Y. (2015). Exploring K-12 Blended Learning Models to Assist the Reform of Education in Egypt. (PH Ludwigsburg University of Education German and Helwan University Cairo). https://doi.org/10.13140/RG.2.1.3880.2321

Previous
« Prev Post

Related Posts

02.16

0 comments:

Posting Komentar